KEPOMPONG GENDUT!

Pernah dengar film cin(T)a? Atau yang lebih baru, Demi Ucok?

Dua film Indonesia tersebut mungkin tidak sesanter Laskar Pelangi atau Soegidja, karena memang dua film tersebut adalah film indie. Di kalangan anak muda dan penikmat film indie, kedua film tersebut cukup sering dibicarakan. Bagi saya pribadi, ketika SMA dulu, film cin(T)a sangat hip! Tema yang diusung merupakan tema yang kontroversial dan kurang digarap ketika itu – kisah cinta berbeda agama dan suku. Berada di lingkungan yang sangat beragam, saya dan teman-teman sangat menunggu film tersebut.

Begitu juga dengan Demi Ucok. Walaupun saya melihat posternya di Kineruku, saya tidak terlalu tahu film tersebut. Namun, kata teman saya yang memang penggarap film dan tahu berita-berita terbaru film indie, Demi Ucok cukup hits. Film yang bernada kocak ini mengusung tema seorang Ibu yang mencarikan jodoh untuk anaknya. Film ini juga tetap kental dengan suku. Jika yang menarik dalam film cin(T)a adalah tema kontroversialnya, lain halnya dengan Demi Ucok. Yang menarik dalam film ini adalah cara produksinya, dimana pendanaan film didanai secara umum atau crowdfunding. Dengan melakukan pitching dan promosi ke kerabat-kerabat serta khalayak ramai, film ini didanai dengan banyak orang.

Unik bukan?

Nah, kedua film diatas memiliki benang merah lain, yaitu keduanya berasal dari rumah produksi Kepompong Gendut. Saya tidak pernah mendengar nama tersebut, tapi saya tahu film-film diatas.

Pada salah satu kelas saya, Creativity and Innovation, saya mengikuti field trip ke rumah produksi tersebut. Di bayangan saya, rumah produksi ini pasti memiliki banyak ruangan – satu untuk storyboarding, satu untuk editing, screening, apalah, apalah. Saya cukup terkejut ketika tempat yang kami tuju merupakan suatu rumah biasa, bukan gedung ataupun kantor luas. Kagetnya lagi adalah ruang-ruang dalam rumah produksi tersebut dapat dibilang sedikit. Hanya ada sekitar tiga. Dan lebih kagetnya lagi, ternyata staf permanen yang ada dalam Kepompong Gendut hanya berjumlah (kalau tidak salah ingat) lima orang.

Kami disambut oleh Sammaria Simanjuntak, pemilik Kepompong Gendut, serta sutradara dari film-film yang ada. Beliau menceritakan pengalaman-pengalaman menariknya: cin(T)a yang premiere-nya di London ternyata tidak direncanakan dan datang tiba-tiba; pemeran Ibu dalam Demi Ucok adalah ibunya sendiri; Kepompong Gendut sedang membuat film TV untuk Kompas TV yang berdasar kisah nyata dan pemainnya pun keluarga; bahwa ternyata yang bikin iklan Google Indonesia adalah Kepompong Gendut.

Sangat menarik mendengar cerita dan penjelasan dari beliau, karena saya juga senang dengan videografi dan film. Saya sangat menyukai cerita-cerita dan insight yang diberikan oleh beliau, terlebih lagi ia masih muda dan bercerita secara santai, bukan terkesan menggurui.

Setelah kami mengobrol dan berdiskusi sedikit, kami diajak keliling “kantor”, dimana kami melihat ruang kerja mereka dan juga ruang Audio Visual. Ruang kerjanya sangat santai dan nyaman.

Hal-hal yang saya ingat, senangi, dan pelajari dari Field Trip ini adalah:

  1. Networking itu ngga penting. Begitu kata Sammaria Simanjuntak. Saat film cin(T)a premiere di London, itu bukan karena ia kenalannya siapa yang merupakan kenalannya seseorang penting, namun tiba-tiba saja mendapatkan tawaran tersebut. Yang menurut saya menarik disini adalah kalimat ini melawan ide-ide yang hampir selalu didoktrinkan (dan dirasakan) kepada mahasiswa bisnis: Networking is Number One. You can’t survive if you don’t know anyone.
    Memang betul, tapi yang saya simpulkan dan pelajari dari Sammaria Simanjuntak adalah networking bukan berarti segalanya. Kenal seseorang belum tentu menjamin kesuksesan, dan jangan mengandalkan orang lain.
  2. Start small! Awalnya ia hanya iseng-iseng suka bikin film. Sammaria yang dulunya adalah alumni Arsitektur, keluar dari kerjanya dan “iseng-iseng” bikin film, dimana pemerannya seringkali kerabat dekatnya. Yang saya simpulkan adalah tidak perlu takut jika ingin melakukan sesuatu, yang penting: mulai.
  3. Do what you love, love what you do. Perhaps the expression is overused, tapi menurut saya idiom tersebut sangat menggambarkan Kepompong Gendut. Mereka melakukan apa yang mereka senangi – videografi. Mereka melakukannya dengan senang hati dan bahagia – atmosfir homy dan menyenangkan.
  4. Think creatively! Di Indonesia, crowdfunding/crowdsourcing mungkin belum terlalu booming, namun film Demi Ucok membuktikan bahwa Indonesia pun bisa melakukan crowdfunding. Dengan sistem dan proses yang unik ini, Demi Ucok mampu tembus ke bioskop dan menghibur penonton. Jangan terpaku bahwa film harus serba gede-gedean dan serba artis terkenal.

Kedepannya, Kepompong Gendut sedang membuat beberapa proyek, salah satunya adalah sebuah film layar lebar bergenre science-fiction tentang rahasia sejarah Indonesia. Proyek lainnya adalah Serial TV yang berlatar belakang dari kisah nyata kerabat dekat Sammaria.

Ditunggu!