27 Februari silam, saya kembali lagi ke Teater Tertutup Dago Tea House untuk kembali menonton teater; atau kalau menurut MC kemarin, mengembalikan Dago Tea House ke tujuan utamanya – menyajikan teater.
Taraksa adalah teater kelima yang dibawa oleh Teater Epik, sebuah wadah untuk penggiat seni teater yang terdiri dari mahasiswa dan siswa sekolah yang ada di Bandung (ITB, UNPAR, ITENAS, UNISBA, UNPAD, UPI, IT Telkom, SMAN 1, SMAN 15, SMAN 19). Pertemuan saya dengan Epik pertama kali adalah melalui Majalah Epik dan Teater Epik Vol. 1 yang kala itu ditampilkan pada Auditorium SBM ITB. Kalau tidak salah pada tahun pertama kuliah, antara 2010/2011. Saya pribadi senang dengan majalah Epik.
Epik diprakarsai oleh senior-senior saya di SBM yang menurut saya, berani “nyeleneh”. Salah satunya adalah Sutansyah Marahakim, yang menjadi sutradara pada pementasan Taraksa ini. Awalnya, saya membaca cerita Taraksa dari blog Sutan. Makanya, perjalanan saya naik taksi dari Pasteur (baru sampai dari Jakarta) pukul 18.55 (padahal show jam 19.00 dan katanya akan ditutup 5 menit setelahnya) cukup deg-degan. Takutnya malah ditutup dan tidak bisa nonton.
Sampai Dago Tea House, ramai! Penuh!
Sekelebat lihat, isinya adalah anak-anak remaja, walau ada beberapa keluarga dan dosen saya. Setelah dicermati lagi, ternyata ada orang-orang dengan face painting dan kostum ala Indian. Awalnya saya pikir mereka semacam “pager ayu pager bagus”. Tapi ternyata mereka lebih dari itu! Ada seseorang yang menurut saya seperti burung dengan gerakan-gerakan aneh dan berjalan menggunakan tangan dan kaki. Ada yang menjadi seperti nenek-nenek gila dan berjalan mendekati orang-orang. Bahkan ada anak kecil yang dikejar-kejarnya! Yang lucu adalah tiba-tiba ia mendatangi saya dan meminta (tetap dengan perannya, tentu) untuk memasangkan penitinya yang copot. Haha.
Menariknya lagi, berbeda dengan pementasan-pementasan sebelumnya, ada merchandise booth. Dan merchandise yang dijual disini bukan pin atau kaos berlogo Taraksa atau sejenisnya, melainkan kalung-kalung etnik, gelas, tas, boneka, bahkan ada lukisan. Sayangnya, saya tidak sempat melihat karena booth penuh sesak. Ada juga beberapa booth makanan dan barang-barang IBE.
Pertunjukan dimulai sekitar jam 19.30. Yang saya rasakan ketika itu adalah rasa penasaran akan properti scene 1. Pada pertunjukan sebelumnya, Mendiang Republik, properti dan visualisasi scene 1-nya juara. Pada awal pertunjukan, MC menyebutkan bahwa pertunjukan kali ini bukan hanya akan menonjolkan visual namun juga integrasi antara auditori, visualisasi, dan cerita yang ada di situs Majalah Epik.
Awal pertunjukan dibuka dengan theme song yang dimainkan oleh tim musik. Continue reading